Thursday, February 26, 2009

Di situ Ada Dion

Sudah lewat tengah malam. Mungkin pukul satu kurang beberapa menit. Persisnya sih nggak tahu. Yang jelas, sudah terasa terlalu lama Iyank membiarkan tubuhnya dimakan angin malam yang dingin.
Ah, mengapa semuanya terasa menyakitkan buat Iyank, terasa begitu melelahkan, sementara setiap hari Dion selalu menghabiskan waktunya di udara malam yang dingin cuma ditemani gitar dan rokok? Apa yang sebenarnya Dion cari di malam dingin dan panjangnya selama ini? Kebebasan? Kepuasan? Cuma itu? Ataukah ada keinginan-keinginan lain yang membuatnya bertahan dengan kebiasaan semacam itu?

Detik-detik berlalu kembali dan Iyank masih duduk di depan teras rumahnya yang terlindungi pohon yang rindang. Melindunginya dari hujan gerimis dan angin malam yang lembut dan dingin. Cuma sedikit. Karena dari duduknya, Iyank masih merasakan percikan air yang membasahi kulitnya.

Tapi semua itu tak membuat Iyank beranjak dari duduknya lalu masuk ke dalam kamarnya yang hangat, meringkuk di dalam selimut, ditemani boneka-boneka kesayangannya… Yah, seperti malam-malam kemarin, saat Iyank masih belum sepenuhnya memahami Dion.

Memang, apa yang dilakukan malam ini adalah semata-mata untuk memahami Dion, memahami orang tercintanya yang selalu menghabiskan waktunya dengan rokok dan bergumul dengan udara malam. Dan Iyank tak tahu mengapa ia berusaha untuk memahami Dion. Padahal saat pacaran dengan Yoga, Iyank tak pernah mencoba untuk memahami hobi ngebutnya. Tapi entah kenapa, sejak bertemu dengan Dion, kemudian jatuh hati padanya, Iyank benar-benar ingin mencoba untuk memahami, untuk tahu, untuk ikut merasakan apa yang Dion rasakan.

Semenit kemudian, sebuah sms masuk. Dari Lini.

Belum tidur, Yank? Don’t spend too much time out side. Just go to bed and try to forget it. 
Iyank tersenyum. Kecil dan pahit. Dari semula Iyank bilang kalau ia mulai jatuh hati pada Dion, Lini tak pernah menyetujuinya. Lini tak pernah mengerti pada perasaan Iyank, pada kata hati sahabatnya itu. Bukannya Lini mencoba untuk mengerti, tapi ia tak pernah mau.

“Dia bukan seperti cowok-cowok yang pernah kau cintai, Yank…” kata Lini saat pertama kali Iyank berterus terang bahwa diam-diam dia menyimpan sebuah perasaan khusus dalam hatinya untuk Dion.

Dan Iyank tahu, memang inilah saatnya untuk mengakhiri mimpi-mimpinya untuk mencintai lelaki ganteng, pintar, dingin… Cowok-cowok di dalam hatinya yang telah mengecewakan Iyank terlalu pedih dan dalam. Iyank ingin mencoba mencintai lelaki yang hangat, perhatian… Ya, seperti seorang lelaki pada umumnya. Dan salahkah jika se-mua itu ada pada diri Dion? Apakah juga salah jika akhirnya Iyank memilih untuk menerima cinta Dion? Toh cinta tak bisa dipaksa harus jatuh di hati siapa?

Rupanya Lini tetap tak mau mengerti sekalipun Iyank berusaha meyakinkan Lini bahwa ia mencintai Dion dengan segala kekurangannya. Ia mencintai Dion karena Iyank tahu benar bahwa Dion memang tak seperti lelaki-lelaki yang kemarin. Dion berbeda. Dion sangat berbeda.

“Kamu cuma tahu Dion dari sisi luarnya aja, Yank…”
“Dan aku mencintai sisi itu, Lin…”
“Yang kamu lihat cuma dia itu baik, perhatian… Tapi bisakah kamu memahami bahwa dia selalu tak ada waktu untukmu, selalu keluar rumah tanpa alasan jelas, menghabiskan harinya dengan teman-teman bukannya denganmu, menghabiskan ber-puluh-puluh batang rokok…. Dan Yank, barangkali juga dia mencandu…”

Iyank tahu, itulah resikonya mencintai Dion. Dion yang jarang ada di rumah, Dion yang sulit dihubungi, Dion yang selalu menghabiskan harinya tanpa Iyank melainkan dengan teman-temannya yang lain… Ah, tapi memang itulah Dion yang sangat Iyank cintai!

Suara kucing yang bertengkar dari ujung jalan membuat lamunan panjang Iyank berhenti. Lagi-lagi Iyank tersadar kembali pada kesendiriannya. Bahkan tanpa terasa hujan sudah berhenti. Dan angin dingin itu berhembus makin pelan.

Tapi Iyank masih merasa dingin. Barangkali karena ia membiarkan tubuhnya cuma dibalut kaos berlengan sampai sikut dan celana pendek selutut. Sedikit demi sedikit Iyank merasakan pening dan mulai mengantuk.

Secangkir kopi pahit rupanya masih belum bisa membuat Iyank benar-benar terjaga. Belum berpengaruh untuk Iyank yang biasa tidur pukul sepuluh. Tapi itu tak meluruhkan niat Iyank untuk meminumnya sekali lagi. Membiarkan kerongkongannya dibasahi kopi pahit sekedar untuk membuatnya terjaga beberapa saat lagi.

Sedang apa ya Dion sekarang? Iyank mulai terusik dengan nama Dion. Ditaruhnya cangkir yang kosong itu di atas meja, sementara bayangan Dion masih menari-nari di atas langit. Iyank tak menemukan jawaban apapun. Tidak langit, atau bintang, atau bulan, atau apa saja yang bisa menjawab pertanyaannya. Semuanya membisu. Sedikit demi sedikit membuat hati Iyank terluka.

Sama terlukanya ketika Iyank tahu Dion memang benar-benar memakai narkoba. Lini yang menceritakan semua ini pada Iyank. Semua ini membuat Lini semakin serius memperingatkan Iyank untuk berhenti mencintai Dion dan menegaskan bahwa Dion bukan lelaki yang pantas dicintai oleh seorang Iyank.

Tapi Iyank tetap Iyank. Apapun kenyataannya, bagaimanapun sakitnya kenyataan itu, tak akan mudah menggoyahkan kata hatinya, nuraninya. Cintanya memang cuma untuk Dion, sekalipun Lini mengatakan bahwa Dion tak pantas untuk dicintai gadis setulus dan sebaik Iyank.

Segala cerita tentang Dion cuma megalir, tak pernah sepenuhnya menyumbat pikiran-pikiran Iyank, tak pernah menyurutkan niat Iyank untuk mencintai Dion sepenuh hati. Itukah sisi buruk yang Lini ceritakan? Ah, ternyata Iyank toh berhasil juga mencintai sisi diri Dion yang lain.

Tiba-tiba hujan turun lagi. Kali ini deras. Tapi Iyank bukannya masuk ke dalam atau minimal mendorong kursinya sedikit mendekati dinding, ia malah membiarkan dirinya basah. Mungkin inilah yang dirasakan Dion. Dingin, menggigil…

Iyank bertahan sekalipun bibirnya memucat. Warna bibirnya mulai membiru. Rambut pendeknya basah kuyup. Tapi Iyank tak mengubah posisinya. Ia tetap duduk dengan kaki dilipat oleh kedua tangannya, dengan kepala tegak ke muka… Iyank tetap bertahan, tetap tegar… sama tegarnya saat ia mendengar berita itu.

“Yank, Dion over dossis. Dia meninggal.”

Iyank tak bisa berkata apa-apa. Saat itu ia hanya terdiam. Dia tak sempat menangis karena Iyank memang tak ingin menangis. Ia hanya merasa bingung ketika Lini memeluknya erat-erat lalu menangis di bahunya. Iyank tak sempat menelaah kata-kata Lini. Cuma satu kata yang membuat Iyank sadar. Meninggal. Berarti Dion sudah nggak ada. Berarti Dion sudah nggak bisa lagi memeluknya, mengelus rambutnya, menggodanya, menciumnya…

Dan memang, Dion sudah pergi sejak pukul setengah sepuluh malam tadi. Dion sudah pergi meninggalkan Iyank yang betul-betul mencintainya. Tak sempat ada air mata karena Iyank merasa selama ini Dion tak sepenuhnya ada buat dia. Dion jarang meluangkan waktu bersamanya. Dion bukan cuma milik Iyank, tapi malam-malam panjang dan dingin inilah yang menjadi pemilik Dion seutuhnya.

Jika Iyank bertanya apa yang sedang dilakukan Dion sekarang, tak akan ada lagi yang bisa menjawabnya. Karena Dion sudah tak ada lagi di sini. Karena bintang, bulan, atau angin tak bisa lagi melihat dan merasakan Dion.

Hujan masih turun dengan derasnya. Dan tubuhnya yang basah sama sekali tak membuat Iyank bergeming. Ia tetap bertahan sekalipun badannya mulai terasa sakit.

Malam ini, Iyank ingin duduk dalam suasana malam. Menikmati malam yang dingin, hembusan angin, juga derasnya air hujan yang pernah dirasakan oleh Dion. Iyank ingin malam ini menghabiskan malamnya di luar, seperti yang biasa dilakukan oleh Dion. Karena Iyank tahu, di situ ada Dion...



**
Surabaya, February 26th 1999